Kamis, 15 September 2011
Bisnis Taipan Beragam Stigma
Jakarta, 17 Maret 2003 00:02 SEBAGAI taipan besar dengan urusan segudang, tentu Tomy Winata, 45 tahun, adalah bos yang sibuk. Sepekan belakangan, urusannya tambah berlipat. Selain menangani jaringan bisnisnya, bos Grup Artha Graha itu kini dibikin repot dengan rapat-rapat ekstra bersama sejumlah anak buah profesionalnya, yang kadang baru berakhir pukul 04.00. Tomy Winata jelas punya gawe penting. Senin pekan ini, jika tak ada aral melintang, dia diundang ke Gedung MPR/DPR-RI. Dia butuh persiapan matang. Tomy dipanggil Komisi I dalam kaitan dengan aksi demo anak buahnya di kantor majalah Tempo yang ternyata berjalan anarkis. "Aksi kekerasan tak bisa dibenarkan, karena itu kami memanggil Tomy untuk melakukan klarifikasi," kata Effendi Choirie dari Fraksi Kebangkitan Bangsa. Pemanggilan Tomy ke DPR dengan isu panas seperti itu tentu mengundang perhatian luas. Bukan apa-apa, nama Tomy Winata memang terlanjur dikenal dengan segala macam stigma. Tidak kurang dari Abdurrahman Wahid, saat menjabat presiden pada Mei 2000, sempat melontarkan cap "raja judi". Karena itu, presiden minta Tomy ditangkap. Tapi, sehari kemudian ucapan itu diralat. Yang dimaksud bukan Tomy, melainkan Sugeng Prananto yang hingga kini belum jelas juntrungannya. Tomy Winata; Dekat Dengan Kalangan Militer (Dok. GATRA/Anizar M. Jasmine) Meski begitu, sebutan miring buat Tomy tidak berarti sirna. Dalam setiap pembicaraan yang menyangkut judi, asosiasi orang tetap saja menghujam ke diri pria kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, itu. Predikat terbaru yang ditempelkan padanya adalah "pemulung besar" pasca-kebakaran Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Produk sengketa atas predikat inilah yang membawa Tomy ke DPR. Toh, ia mengaku tak gentar. Lewat sepucuk surat, ia menyatakan bersedia datang ke Senayan. Meski, untuk itu ia harus menangguhkan misi bisnisnya ke Kendari. Bukan tidak mungkin, Tomy akan memanfaatkan forum tersebut untuk melakukan klarifikasi atas sejumlah tuduhan miring kepadanya. Bukan rahasia lagi, namun pria penggemar berat tahu bacem dan petai itu dikaitkan dengan sejumlah stigma seram. Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika), misalnya, sempat menjulukinya "Gembong Judi dan Ekstasi". Lantas mantan preman yang kini mengaku sudah bertobat, Anton Medan, menyematkan predikat "preman kerah putih" yang punya tangan di kalangan "preman kerah dekil". Demikian juga sebutan-sebutan miring lain. Risaukan Tomy dengan semua julukan yang dilekatkan padanya? Kepada Gatra, Tomy mengatakan tak ingin ambil pusing dengan semua cap miring itu. Apalagi stigma semacam itu sebatas bisik-bisik. Tapi, kalau sudah tumbuh menjadi fitnah terbuka dan menyentuh harga diri, ia mengaku akan mengambil tindakan. Soal sebutan jelek, gue ini, ya, rajanya deh," katanya, enteng. Pohon Bisnis Artha Graha (Dok. Gatra.com) Menurut Tomy, apa yang diprioritaskan adalah membangun bisnisnya tumbuh lebih rimbun agar bisa menampung sebanyak mungkin orang untuk bekerja. Tentu saja, Tomy menegaskan, hal itu dilakukan berlandaskan hukum. "Gini aja, dalam situasi sekarang, Anda perlu orang suci tapi tak bisa mengongkosi diri sendiri, atau orang yang dituduh jelek -meski tidak pernah terbukti secara hukum- tapi bisa memberi pekerjaan untuk orang lain?" Untuk yang satu itu, aktivis organisasi Islam Eggi Sudjana mengakuinya. Menurut dia, Tomy telah menunjukkan kerja nyata, ikut menggerakkan ekonomi masyarakat, selain menampung ribuan tenaga kerja. "Ia anak bangsa yang memberi nilai tambah bagi bangsa Indonesia," kata Eggi, memuji. Begitu" Suka atau tidak, Tomy tergolong taipan yang sanggup bertahan di tengah badai ekonomi. Grup Artha Graha, "rumah uang", yang dibangun bersama Sugianto Kusuma dan menggandeng Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat, dalam klaim Tomy, menjadi naungan sedikitnya 60.000 tenaga kerja. Mereka terbagi atas 38.000 pekerja langsung dan selebihnya pekerja tak langsung. Total aset sebelum krisis, menurut klaimnya, tak kurang dari Rp 3,5 trilyun. Imperium itu tentu tak dibangun dalam sekejap. Tomy memulai bisnis pada usia belia. Persisnya pada 1972. Dituturkannya, mula-mula ia bekerja di sebuah perusahaan yang punya hubungan bisnis dengan Kodam Tanjungpura dan pemerintah daerah di Singkawang, Kalimantan Barat. Tugas remaja yang tak tamat SMP ini melakukan konfirmasi pengiriman dan pesanan berikutnya. Interaksi dengan kaum militer itulah yang memberinya jalan terang. Secara perlahan Tomy mendapat kepercayaan untuk berusaha sendiri. Order pertama yang didapatnya ialah membangun kantor rayon militer di Singkawang, pada 1972. Dari proyek inilah hubungannya dengan sejumlah perwira TNI mulai terbangun. Cerita selanjutnya mirip perjalanan persahabatan Lim Sioe Liong dengan H.M. Soeharto. Mereka merintis bersama dari bawah, saling mendukung. Ketika Soeharto naik posisi, Liem pun mendapat keuntungan dari sisi bisnis. Lakon hidup Tomy dengan sejumlah perwira juga tidak jauh berbeda. Karena hubungan baik dengan perwira TNI-lah, proyek Singkawang berlanjut. Order berikutnya adalah pembangunan asrama militer di Irian Jaya, 1975. Di masa ini pula Tomy mulai berkenalan dengan Yorrys Raweyai, yang kelak dikenal sebagai tokoh Pemuda Pancasila (PP). Organisasi ini dikenal punya hubungan khusus dengan militer, terutama Angkatan Darat, di zaman Orde Baru. Persahabatan itu terus berlajut hingga keduanya terdampar di Jakarta. Tak mengherankan jika keduanya kerap tampil bersama. "Ya, Yorrys memang kenalan lama," kata Tomy. Hoki bisnis Tomy di Irian Jaya rupanya tak bagus. Pada 1983, ia mengaku bangkrut. Pada saat itu modalnya bertambah: ijazah SMA. "Saya waktu itu masih bodoh, kurang hati-hati. Lebih banyak pengeluaran dari pemasukan," katanya, suatu ketika. Tahun itu juga ia hijrah ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan swasta. Tomy Winata Bersama Edi Sudradjad Saat Peresmian Rumah Karyawan ABRI (Dok. GATRA/Anizar M. Jasmine) Nasib Tomy mulai membaik saat bertemu Sugianto Kusuma. Pemilik PT Amcol Graha Electronic ini menawarkan gaji Rp 3 juta per bulan. Kesempatan itu langsung disambar. Karena ketekunan, keuletan, dan semangat kerjanya yang tinggi, nasibnya cepat berubah. Sugianto yang melihat "bakat" Tomy lantas mengajaknya bermitra. Ia membawa Tomy berhubungan dengan Angkatan Darat. Persisnya ke Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP), yang ketika itu dipimpin Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Edi Sudradjat. Masa keemasan Tomy pun tiba. Debut pertama yang mencuatkan Artha Graha, nama kongsi Tomy dengan Sugianto, di kancah bisnis nasional terjadi pada 1989. Ketika itu, Bank Propelat merugi Rp 600 milyar. Tomy diminta turun tangan, meski awam soal bank. Propelat yang semula dimiliki Yayasan Siliwangi berganti nama menjadi Bank Artha Graha. Jika semula 100% sahamnya dimiliki yayasan, pada 1992 sahamnya menjadi 40% YKEP, selebisnya dibagi habis antara Tomy (PT Karya Nusantara Permai) dan Sugianto Kusuma (PT Cerana Artha Putra). Pendekatan khas "ala Tomy" membuat utang mampet di bank menjadi lancar seperti air sungai di pegunungan. Beberapa bulan setelah pengambilan Bank Propelat, Tomy membuat gebrakan baru. Masih bergandengan dengan YKEP, ia mengambil alih saham mayoritas di PT Jakarta International Hotel Development, badan usaha milik negara (BUMN) yang antara lain mengelola Hotel Borobudur. Tomy kemudian juga mengembangkan bisnis hotel di Pulau Matahari, Kepulauan Seribu. Di Kuta, Bali, masih bersama YKEP, ia pun membangun Discovery Kartika Plaza Hotel. Tomy Winata; Bersama Akbar Tandjung & Edi Sudrajad Saat Peresmian Rumah Karyawan ABRI (Dok. GATRA/Anizar M. Jasmine) Pada 1992, di tengah suasana yang sedang booming, bisnis properti dibuat geger. Lewat PT Danayasa Arthatama, kongsian YKEP dengan duet Tomy dan Sugianto muncul dengan proyek Sudirman Central Business District (SCBD), kawasan bisnis terpadu di bibir Jalan Sudirman, Jakarta. Di areal mega proyek yang memakan lahan 40 hektare itu bakal dibangun gedung perkantoran, hotel, apartemen, dan pusat niaga, yang diperkirakan memakan dana Rp 7,5 trilyun. Tak bisa disangkal, SCBD merupakan proyek fenomenal. Disini, kedigdayaan Tomy sudah dihitung sebagai taipan teruji. Untuk membangun kawasan ini, ia berhasil menggandeng dua BUMN, PT Taspen dan PT Danareksa. Hingga kini Danayasa baru mampu membangun dua gedung di sana: Artha Graha dan Gedung Bursa Efek Jakarta. Sementara bangunan hotelnya mangrak, sejalan dengan terjadinya krisis pada 1998. Tak ayal lagi, program kerja penyelesaian 10-15 tahun proyek bakal molor. Selain kerepotan dana, proyek SCBC telah pula menyeret nama Tomy ke pusaran konflik. Sorotan tajam diarahkan ke sana berkaitan dengan proses pembebasan lahan. Selain menuai protes karena tak cocok harga ganti rugi, juga lantaran penggusuran dilakukan secara paksa. Diwartakan, penggusuran itu memanfaatkan jasa anak buah Yorrys (PP), juga melibatkan tentara. Tomy Winata & Luhut Panjaitan Saat Peresmian Cabang KIA Mobil Indonesia (GATRA/Wisnu Prabowo) Konflik Tomy bukan saja dengan warga yang merasa tergusur secara paksa. Kelompok bisnis banyak yang menggerundel karena merasa dicurangi, atau tersingkir secara tidak fair. Tapi, alih - alih membocorkan perkaranya ke publik untuk maju ke meja hijau pun tak berani. Yang ada cuma gerutuan yang kemudian berakhir sekadar rumor. Kalaupun ada yang berani melawan dia adalah Hartono Setiawan, pemilik Planet Bali, bisnis hiburan yang berkonsep one stop entertainment. Hartomo terlibat utang - piutang dengan Bank Artha Graha. Karena dianggap lalai melunasi kewajiban, aset Hartono disita. Kepalang basah, Hartono pun membawa perkara ini ke pengadilan. Hingga kini menunggu putusan Mahkamah Agung (lihat: Setor Muka dengan Ribut). Di tengah semua sorotan itu, kerja sama dengan YKEP yang di-back-up penuh Angkatan Darat sedikit banyak memuluskan bisnis Tomy. Sekalipun dalam sejarahnya tak semua perwira yang mengurus YKEP berhubungan dekat dengan Tomy. Toh, kongsian dagang keduanya terus beranak - pinak, mulai properti, hotel, perdagangan, hingga konstruksi. "Mungkin saja benar hubungan dengan yayasan membantu kelancaran bisnis dia. Tapi, yang jelas, dia memang punya insting bisnis yang baik. Buktinya di luar yang dengan yayasan, bisnis dia juga tumbuh," kata mantan Kepala Staf Umum ABRI, Letnan Jendral (Purnawirawan) Soeyono. Benar saja, di luar kerja sama dengan YKEP, Tomy juga mengembangkan bisnis sendiri. Hingga 2002, perusahaannya merambah kemana - mana. Dari properti, hotel konstruksi, perbankan, hingga perusahaan penerbangan PT Transwisata dengan lima unit pesawat (lihat: Pohon Bisnis Artha Graha). Di luar bisnis lama itu, yang teranyar adalah niat investasinya di wilayah timur Indonesia. Ambon, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah sudah diliriknya. Ia sempat berniat masuk ke bisnis pasir Riau, bahkan sempat pula mendesakkan kehendaknya ke Departemen Kelautan, tapi urung lantaran pemerintah memilih mengistirahatkan bisnis kontroversial ini. Tomy Winata mengklaim, sekalipun dilanda krisis ekonomi, tak ada grup usahanya yang sampai mem-PHK karyawan. Meski, untuk itu ia harus rela menutup seluruh usaha yang ada di luar negeri. Hasil penjualan itu digunakan untuk menutup tekor bisnis di dalam negeri. "Sekarang tidak ada lagi perusahaan yang ada di luar negeri. Semuanya di sini," katanya. Namun, sejalan dengan era reformasi ang serba buka - bukaan, bisnis "selingkuh" Tomy dengan militer pun tidak luput dari sorotan. Hal ini melengkapi sejumlah tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. Termasuk soal link Tomy dengan sejumlah ontran - ontran politik di Tanah Air. Misalnya, isu kucuran dana Rp 23 milyar untuk mendukung Gubernur Sutiyoso. Benarkah? "Kalau konon - konon begitu, saya susah menjawabnya. Sekarang gini aja, kalau Anda bisa membuktikan itu, bikin pernyataan, kita bagi dua saja duitnya," katanya. Tentu rumor atas dirinya masih terus akan berlanjut. Dwitri Waluyo, Asrori S. Karni, dan Rohmat Haryadi [Laporan Utama, GATRA, Nomor 18 Beredar Senin 17 Maret 2003]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar